![]() |
Renza Saputra ( Tengah ) Mendampingi Buyer dari Jepang Bersama Owner Kopi Sukmojati ( Paling Kanan ) |
Kopi bagi Renza Saputra, 35, sudah taka sing baginya. Selain karena Suparto dan Nanik yang merupakan kedua orang tuanya adalah petani kopi di kampung halamannya, sejak masih remaja dia menggeluti sudah paham betul dengan perkebunan.
Setelah lulus sekolah di MA Sunan Giri, Dusun Talang, Desa Watuagung, Kecamatan Prigen, bapak dua orang anak asal Dusun Cowek, Desa Watuagung, Kecamatan Prigen ini memutuskan bekerja menjadi pegiat ekowisata. Di sela waktu luangnya itulah dia membantu merupakan kedua orang tuanya yang memang petani kopi.
Hingga dia mulai serius menekuni kopi sekitar tahun 2017. “Pegiat ekowisata masih, tapi sudah jarang sekali. Sekarang fokus sebagai penggiat dan pebisnis kopi. Karena memang suka, kemudian peluang dan potensi pasar atau market juga besar,” kata Renza Saputra, ditemui koran ini di salah satu cafe miliknya berada di Desa Watuagung, Kecamatan Prigen.
Sebelum memutuskan menjadi pegiat dan pebisnis kopi, di tahun 2016 lalu, Renza lebih dulu melakukan riset dan menggali pontensi kopi yang ada di desanya juga desa sekitar berada di Kecamatan Prigen. Kecamatan di dataran tinggi Kabupaten Pasuruan ini memang banyak terdapat kebun dan petani kopi. Antara lain di Desa Jatiarjo, Dayurejo dan Ledug.
Riset yang dilakukan Renza dimulai dari pasar atau market. Tujuannya untuk menentukan brand dan target market atau pasarnya.
Setelah mantab dan penuh optimistis, tahun 2017 saya mulai jualan kopi yang sudah diolah dan tinggal seduh atau dinikmati saja. Brand-nya saat itu Tjap Djaran,” tuturnya.
Kopi yang dijual, kata Renza, sudah dalam bentuk kemasan. Kopi itu dari hasil panen petani kopi pendampingan di Desa Jatiarjo. Renza masih ingat, saat itu, hanya ada tiga orang petani. “Itupun termasuk punya bapak,” imbuhnya.
Karena masih mengawali, pasarnya tentu saja masih yang sederhana. Saat itu kopi dikirim ke Surabaya, Jakarta, Makasar dan Batam. Pemasarannya via online, social media, serta pameran mandiri. Jenis kopinya arabika, robusta dan luwak.
Awal merintis, petani dampingan belum banyak. Saat itu masih tiga orang. Bentuk pendampingannya proses budi daya atau penanaman. Khususnya pengolahan pascapanen,” ungkapnya.
Di tahun pertama merintis, usahanya tentu tidaklah selalu lancar. Renza bercerita, dia juga mengalami jatuh bangun karena menemui kendala. Hambatan itu tentu saja modal. Ketika ada permintaan besar, dia tidak bisa melayani lantaran modal dan stok barang.
“Saat itu dalam sebulan baru mampu menjual hingga sekitar 100 kilogram. Tapi sudah mulai kirim ke Jerman. Tepatnya ke orang Indonesia yang tinggal di Jerman. Sebulannya 5-10 kilogram,” bebernya.
Setahun berikutnya yakni 2018, dalam sebulannya, kopi yang dijual naik menjadi sekitar 250 kilogram.
“Di tahun itu, kopinya saya ambil atau beli dari 15 petani kopi dampingan di Desa Jatiarjo. Tentunya kopi dengan grade khusus, karena yang dijual adalah kualitas terbaik,” ujarnya.
Sayang, usahanya itu sama seperti kebanyakan kala pandemi Covid-19 melanda dunia. Selama tiga tahun dia vakum. Praktis dia beralih ke usaha cafe.
Setelah pandemi mereda, dan kondisi ekonomi mulai membaik. Di tahun 2023 kembali geluti bisnis kopi. Dia juga kembali melakukan pendampingan ke petani kopi.
Setahun kemudian di 2024, usahanya makin lancar. Sebab dia mulai ekspor berupa biji kopi mentah. Bukan bentuk olahan. Tapi kopi itu sudah dikemas bentuk karungan, tetap dengan brand Tjap Djaran.
Renza mengenang, tujuan ekspornya saat itu Jepang. Dari negeri matahari terbit itulah, kopi-kopinya selanjutnya didistribusikan ke belasan negara lainnya. Berada di benua Asia, Eropa dan Amerika.
“Ekspor biji kopi ke Jepang, setelah ketemu buyer atau pembeli dari Jepang. Sekali kirim sampai dengan puluhan ton,” imbunya.
Adapun untuk biji kopinya yang kemudian di ekspor ke Jepang, Renza mengatakan, komoditi kopinya menyerap dari puluhan petani kopi dampingan.
Produk dari petani-petani yang tersebar di Desa Jatiarjo dan Dayurejo, serta Kelurahan Ledug, Kecamatan Prigen.
Adapula dari daerah lain seperti Desa Sumberrejo, Kecamatan Purwosari dan Desa Tambaksari, Kecamatan Purwodadi. Jenis biji kopinya yang di ekspor hanya arabika
Kegiatan sortasi sampai dengan proses untuk ekspor ini, melibatkan sampai sekitar 45 orang berada di beberapa tempat. Termasuk didalamnya ada bagian quality control. Ini dilakukan bagian dari konsistensi untuk menjaga kualitas dan rasa,” jelasnya menjelaskan jurus pemasarannya.
Untuk proses sebelum kemudian ekpor ke Jepang, kata Renza, acapkali pihak buyer datang langsung ke Prigen menemuinya. Nah, calon buyer itu tak jarang melakukan survei dan kunjungan, cek lapang, uji kualitas, standart dan lain sebagainya.
Kopi yang mau diekspor Renza, juga diperhatikan betul oleh buyer. Mulai peralatan yang digunakan, ramah lingkungan atau tidak, panen petik merah, proses penjemuran secara alami, hingga kadar air, size atau ukuran.
“Melalui banyak tes juga tahapan. Mulai dari kunjungan hingga kemudian akhirnya deal dengan buyer, memakan waktu hingga delapan bulan. Alhamdulillah akhirnya deal dan berlanjut hingga sekarang,” tuturnya.
Selain ekpor ke Jepang, di tahun ini juga berencana ekpor ke Finlandia. “Masih proses penjajakan, buyer-nya sudah ada. Untuk deal masih belum, mudah-mudahan bisa deal,” ungkapnya.
Menjadi pegiat dan pebisnis kopi, Renza mengaku mendapat dukungan sepenuhnya orang tua, istri, keluarga, serta para sahabat dan teman-temannya. Termasuk dari mitra petani kopi sekaligus dampingannnya.
Sementara itu, Jumali, 39, salah seorang mitra petani kop, asal Desa Dayurejo, Kecamatan Prigen menuturkan, kenal baik dengan Renza Saputra.
“Orangnya humble dan familiar, kami sebagai petani kopi sangat terbantukan. Mulai dari pendampingan dilapangan, baik saat masa tanam dan pasca panen,” tuturnya.
Biji kopi hasil panen milikRenza dan para petani kopi lainnya, dibeli dengan harga terbaik. “Sehingga baik kuantitas dan kualitasnya tetap terjaga,” katanya
Artikel ini sudah tayang di wartabromo.com
0Komentar